Lukman Hakim Saifuddin
JAKARTA - Wakil Ketua Umum DPP PPP Lukman Hakim Saifuddin mengatakan cara kerja Detasemen Khusus Anti Teror (Densus AT) 88 sudah meresahkan masyarakat. Sebab cara kerja Densus 88 selama ini dianggap tidak mempertimbangkan Hak Asasi Manusia (HAM).
“Sudah sejak lama keberadaan Densus 88 di tubuh Polri itu mengusik rasa keadilan kita. Tindakan mereka berupa penembakan dan pembunuhan dalam memerangi terorisme, misalnya, dinilai telah melanggar HAM. Prosedur yang mereka tempuh dinilai sudah terlalu sewenang-wenang,” ungkap Lukman dalam keterangan tertulisnya kepada Okezone, Minggu (3/3/2013).
Di kalangan ormas Islam, kata dia, keberadaan Densus 88 itu sudah meresahkan. Sepak terjang mereka dalam pemberantasan terorisme dinilai seringkali mengkait-kaitkan dengan agama Islam dan menjadi stigma terhadap umat Islam. Ini tentu sungguh merugikan dan mendeskriditkan keberadaan umat Islam.
“Perlu evaluasi yang menyeluruh terhadap keberadaan Densus 88. Kapolri diminta untuk serius menindaklanjuti tuntutan sejumlah ormas Islam yang menghendaki pembubaran Densus 88. Keberadaan Brimob sesungguhnya sudah memadai dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,” kata Wakil Ketua MPR itu.
Ini Penyebab Anggota Densus 88 Langgar HAM
Mabes Polri mengakui, ada oknum Densus 88 yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) saat bertugas menangkap terduga teroris. Tapi menurut pengamat terorisme Ali Fauzi, pengakuan Polri tersebut bukanlah sesuatu yang baru. Kata dia, pelanggaran HAM oleh oknum Densus 88 sudah terjadi sejak lama.
"Kalau kita mengikuti perkembangan kasus terorisme dari awal sampai sekarang, memang namanya pelanggaran itu tidak bisa dilepaskan begitu saja karena berkaitan dengan personal di lapangan," kata dia kepada Okezone, Jumat (1/3/2013).
Dia yakin, kebijakan Polri secara keseluruhan sebenarnya tidak menghendaki adanya pelanggaran oleh Tim Densus 88 saat menangkap terduga teroris. Tapi, fakta di lapangan bisa saja berbeda. Tugas berat yang disandang oleh Tim Densus bukan mustahil memaksa mereka untuk bertindak di luar kebijakan yang sudah dibuat.
"Itu berpengaruh pada mereka dan itu (pelanggaran HAM), sudah fakta lama," cetusnya.
Ali mengapresiasi kejujuran Polri karena berani membuka adanya pelanggaran HAM oleh oknum Tim Densus 88. Menurutnya, Polri tentu sudah menimbang baik atau buruk saat menyatakan hal itu. "Pengakuan itu sudah poin plus. Ini yang dibutuhkan masyarakat," paparnya.
Artinya, kata dia, sudah ada keterbukaan dari Polri dalam pemberantasan terorisme. Hal ini bukan tak mungkin Polri akan mendapat dukungan dari masyarakat dalam memberangus teroris. Masyarakat akan menyadari jika operasi di lapangan tidak terlepas dari human error. "Sudah susah untuk menutupi karena peran media sudah sangat besar," kata dia.
Penyebab banyaknya pelanggaran HAM di lapangan, kata Ali, sangat beragam. Di antaranya, informasi tentang target yang ingin ditangkap tidak akurat atau tugas yang dibebankan sangat berat. "Ini akan membuat tingkat emosional tidak stabil," ungkapnya.
Sebab itu, untuk mencegah kesalahan di lapangan, diperlukan adanya pembinaan emosi, dan spritual. Selain itu, anggota Densus juga harus mendapatkan informasi yang akurat tentang target sebelum turun ke lapangan.
"Saya pikir kesalahan itu tidak lepas dari kesalahan tim Teknologi Informasi (TI) dalam mengidentifikasi. Info yang akurat itu tetap pengakuan dari pihak yang sudah tertangkap," pungkasnya.
Densus Disatukan Saja dengan Brimob!
Sejumlah Ormas Islam melaporkan dugaan pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh oknum personel Densus 88 Antiteror Polri. Jika memang benar, maka tindakan itu dianggap menyalahgunakan kekuasaan aparat dalam memberantas para pelaku teror.
“Saya sudah melihat ada indikasi kecenderungan adanya abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan dalam Densus 88,” kata pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar kepada Okezone, di Jakarta, (28/2/2013).
Densus 88 dikenal telah menangkap banyak pelaku teroris di Tanah Air. Dengan adanya tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan, maka bisa mencoreng prestasi yang telah diraihnya.
“Memang mereka (Densus 88) memiliki prestasi, tetapi prestasi itu tidak diimbangi dengan santun mereka,” ujar Bambang.
Menurut Bambang, kejadian ini akan merusak citra kepolisan. Supaya tidak berlarut dan mencemarkan institusi Polri, Bambang menyarankan Densus 88 lebih baik dikembalikan saja ke satuan brimob.
“Saya menyarankan agar kembalikan saja ke satuan fungsi kepolisian yang menangani extraordinary crime yakni satuan brimob,” tegas Bambang.
Dosen senior Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) itu menambahkan, pada dasarnya, densus dibentuk sebagai satuan antiteror, di brimob pun sebenarnya sudah ada satuan antiteror. Sehingga kata dia, seharusnya tidak ada dua unit yang mengerjakan satu pekerjaan.
Bila dibandingkan Densus, Brimob punya kualifikasi yang setara atau mungkin lebih dan Brimob ini ada diseluruh Indonesia. Sehingga, jika Densus kembali menjadi satu dengan Brimob akan bisa mengefisiensi anggaran biaya yang keluar pula.
“Masalah nantinya akan terjadi penyimpangan atau pelanggaran lagi, tergantung struktur kepolisian yang dibentuk. Mereka berani enggak melakukan perubahan secara besar-besaran?” tutup Bambang.
Seperti diketahui, sejumlah ormas Islam mengadukan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh anggota Densus 88. Mabes Polri pun telah membenarkan telah terjadi kekerasan berdasarkan bukti video yang berisi terduga teroris mengalami penyiksaan, dengan tangan diikat, dipukuli, ditembak bahkan diinjak-injak oleh oknum tersebut.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !