Grace Natalie (Jaringnews/Nikky Sirait)
JAKARTA, Jaringnews.com - Terdapat temuan menarik dalam survei terkait dua tahun menjelang Pilpres 2014 yang dipublikasikan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC): saat ini, sekitar 60 persen pemilih di Indonesia belum mengetahui siapa calon presiden yang akan dipilih. Bahkan, Prabowo Subianto, yang selama ini kerap menjadi primadona lembaga survei, hanya mampu mengantongi 10,6 persen suara. Belum mampu menyabet status single majority dan menjadi magnet elektoral dominan bagi umumnya pemilih.
Bagaimana dengan Megawati Soekarnoputri? Masih menurut hasil survei yang dipublikasikan SMRC pada bulan ini, popularitasnya luar biasa tinggi, 93,7 persen. Namun elektabilitasnya juga luar biasa kecil, hanya 8 persen. Pun dengan Aburizal Bakrie alias Ical. Ditetapkan sebagai capres oleh Golkar pada bulan lalu, saat ini elektabilitas Ical hanya 4,4 persen, jauh dari popularitasnya yang sebesar 70,1 persen.
Survei ini menunjukkan bahwa popularitas capres tak berjalan linier dengan elektabilitas mereka. Singkatnya, Indonesia belum punya tokoh yang kuat secara elektoral untuk menjadi presiden.
CEO SMRC Grace Natalie mengatakan, temuan ini mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia menunggu munculnya tokoh baru alias capres alternatif. "Ini peluang bagi tokoh baru, siapapun di luar sana. Yang mungkin belum melakukan sosialisasi secara intensif, jangan berkecil hati dulu, karena ada 60 persen orang yang membuka hati lapang-lapang atas munculnya seorang tokoh," ujar dia.
Menurut dia, keadaan ini sebenarnya bisa ditangkap sebagai kesempatan dan peluang yang diberikan rakyat agar elite politik, terutama partai, mencari dan menawarkan calon terbaik yang diharapkan pemilih. "Bukan sebaliknya, memaksa rakyat untuk memilih orang atau calon yang tidak dikehendaki. Dua tahun waktu yang cukup membantu rakyat punya alternatif calon presiden yang lebih baik dari nama-nama yang sudah berlabel capres saat ini," ungkap mantan penyiar TV One ini.
Lebih jauh tentang capres alternatif, perempuan berparas cantik ini berkesempatan menjelaskan secara gamblang kepada Nikky Sirait dari Jaringnews.com, di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (25/7) malam. Berikut petikannya:
Dari survei SMRC, diketahui bahwa belum ada capres yang elektabilitasnya dominan alias single majority...
Itu pertanyaan terbuka dari kami, kalau Pilpres dilakukan sekarang, siapa yang akan terpilih. Top of mind memang paling efektif mengetahui seberapa kuat calon itu dipilih, yakni disebut secara spontan.
Lalu?
Hasilnya, 60 persen tidak tahu akan memilih siapa. Kami sudah menyuguhkan nama seperti Aburizal Bakrie, Prabowo dan Megawati. Nama-nama itu top, Prabowo di peringkat atas, tapi cuma sekitar 10 persen. Artinya, tidak ada tokoh yang kuat secara dominan elektabilitasnya.
Berarti ada masalah dengan calon-calon ini, sehingga popularitasnya tidak berbanding lurus dengan elektabilitas...
Kenyataannya memang tidak berbanding lurus. Megawati, popularitasnya tinggi, semua orang tahu dia. Wajar, dia mantan presiden dan beberapa kali ikut Pilpres. Tapi ketika dilakukan pertanyaan terbuka, yang memilih dia jadi presiden cuma 8 persen, malah di bawah Prabowo.
Popularitas adalah modal untuk dipilih. Tapi ketika popularitas tinggi tapi tidak dipilih, itu menjadi pertanyaan. Popularitasnya menjadi tidak efisien. Seperti Megawati, popularitasnya nyaris 100 persen, tetapi elektabilitasnya hanya 8 persen. Kalau popularitas dan elektabilitas gap-nya terlalu besar, ada sesuatu yang tidak efektif. Ini masalah.
Artinya 60 persen pemilih cenderung menanti capres alternatif?
Masyarakat membuka peluang untuk tokoh baru. Ini peluang bagi tokoh baru, siapapun di luar sana. Yang mungkin belum melakukan sosialisasi secara intensif, jangan berkecil hati dulu, karena ada 60 persen orang yang membuka hati lapang-lapang atas munculnya seorang tokoh.
Tentu saja akan ada proses seleksi. Jika makin dikenal, rakyat juga ingin tahu, kebijakan dan kiprah tokoh baru itu seperti apa. Ada persepsi publik. Kalau publik suka sama yang bersangkutan, akan bisa jadi modal untuk terus maju.
Modal utama capres alternatif adalah dikenal. Kalau tidak dikenal, siapa yang akan memilih? Masih ada ruang yang besar dua tahun ke depan untuk siapapun calon presiden alternatif. Siapapun yang ingin maju, kesempatan terbuka lebar.
Lain halnya jika pemilih sudah jauh-jauh hari menentukan pilihan atau jatuh hati pada calon yang sudah ada. Kenyataannya, 60 persen belum menentukan pilihan, meski calonnya semisal Prabowo, Mega, Ical sudah ada. Bahkan, meski sudah jor-joran beriklan di TV pun, kenyataannya calon yang sudah ada tersebut elektabilitasnya belum dominan.
Bagaimana dengan menteri yang ada di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, adakah yang potensial untuk dijadikan capres alternatif?
Menarik, nama-nama semisal Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, Menteri BUMN Dahlan Iskan dan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto sempat masuk dalam top of mind, pertanyaan semi terbuka survei kami. Elektabilitas mereka masih tergolong kecil. Tapi wajar, karena belum disosialisasikan. Persepsi masyarakat terhadap ketiga nama ini cukup bagus, untuk ukuran figur yang belum melakukan sosialisasi. Elektabilitasnya sudah lumayan dan itu sudah jadi modal awal.
Berarti harus dipoles lagi agar elektabilitas makin tinggi...
Ya, kalau memang mereka serius ingin jadi capres. Dan kita ingin lebih kritis. Ayo, kita lihat figur-figur ini. Mereka kan baru mulai, ayo sama-sama coba buka dan kasih kesempatan. Kita tidak fair kalau menilai mereka sekarang, karena mereka belum ngapa-ngapain.
Jadi kesempatan terbuka lebar bagi figur-figur baru ini?
Masih terlalu dini. Terlalu rendah popularitas mereka untuk deklarasi saat-saat sekarang. Tapi nama-nama itu lumayan untuk ukuran belum melakukan sosialisasi. Harusnya beri ruang lagi bagi mereka, harus lebih sering diekspos dan diuji.
Taufiq Kiemas mengatakan, capres yang mendapat dukungan dari Megawati ataupun SBY akan berpeluang besar terpilih di 2014. Tanggapan Anda?
Tergantung pada figur calonnya. Mega dan SBY tokoh bangsa, dan punya power untuk meng-endorse (menyokong). Ini memang momen krusial bagi PDIP dan Demokrat untuk memilih siapa yang akan di-endorse di 2014. Akan menjadi sinergi yang sangat bagus jika restu Mega maupun SBY dipadukan dengan calon yang memang bagus. Kalau tidak begitu, akan susah mengangkat elektabilitasnya. Kampanye akan menjadi medan ujian. Kalau sejak awal capres yang akan diusung sudah banyak masalah, akan susah menjual itu barang!
Berarti semua bergantung pada figur sang calon...
Saya mau memberi contoh, soal Pilkada DKI Jakarta. Pantauan internal kami, di Pilkada DKI, mesin politik PKS sangat bagus. PKS bisa memobilisasi kader-kadernya untuk turun ke jalan, juga cukup solid. Tapi entah bagaimana, pergerakan mesin partai di bawah tidak diimbangi dengan elektabilitas Hidayat Nur Wahid. Sosialisasi sudah sangat getol, bahkan 'dewa' PKS yang menjadi calon gubernur, tapi ternyata masyarakat punya persepsi sendiri.
Artinya, meski sosialisasi sudah jalan, namun produk yang ditawarkan kurang diterima masyarakat, akan susah juga. Endorse penting. Kita semua hormat dengan SBY dan Mega, apalagi SBY yang ketokohannya sangat kuat dan diakui, tapi SBY dan Mega harus meng-endorse calon yang benar-benar tepat. Harus dilihat dulu, barangnya bagus apa nggak.
Kriteria kualitas personal dalam riset perilaku memilih presiden mencakup integritas, kompetensi, empati dan ketegasan. Siapa capres yang sudah memenuhi empat aspek ini?
Aspek yang bobotnya paling tinggi adalah integritas. Mega unggul di integritas dan empati, sementara Prabowo ketegasan. Tapi, ketegasan porsinya jauh dari integritas. Bagi masyarakat, integritas lebih penting, ketegasan bagi pemilih Indonesia tidak terlalu penting.
Bagaimana dengan Ical?
Ical dari keempat aspek itu rata-rata lemah. Kepintaran masih lumayan tapi lebih rendah dari Prabowo. Untuk Mega, Ical dan Prabowo, belum ada yang terlalu kuat memenuhi empat aspek tersebut, dari segi kompetensi tidak ada yang paling dominan.
Kemenangan Jokowi di Pilkada DKI putaran pertama bisa dibilang fenomenal. Dalam waktu relatif singkat, dirinya bisa meraih simpati warga DKI. Akankah fenomena serupa dalam lingkup nasional, bagi capres alternatif, kembali terulang?
Tidak tertutup kemungkinan. Kalau kondisi masyarakat undecided (belum menentukan pilihan) masih cukup besar, kemudian muncul tokoh seperti Jokowi yang menjadi media darling dan dibicarakan semua orang. Seperti SBY pada tahun 2004 lalu, tidak sampai setahun sosialisasinya, tapi beliau punya momentum. Indonesia suka hal-hal dramatis.
Bagaimana dengan Demokrat, siapa yang akan ditunjuk SBY untuk menjadi capres?
Bagi SBY, masih terlalu dini menunjuk capres di saat sekarang. Setahu kami, beliau juga sedang mencari.
(Nky / Nky)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !