JAKARTA – Koalisi Kebebasan
Berserikat (KKB) menuntut pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
segera menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Organisasi
Kemasyarakatan (Ormas) dan menggantinya dengan Undang-Undang (UU)
Perkumpulan.
Mereka menilai, RUU Ormas melanggar prinsip-prinsip hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia.
“KKB juga menuntut pencabutan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985, tentang Organisasi Kemasyarakatan dan mengembalikan pengaturan Ormas kepada kerangka hukum yang benar dan relevan. Yaitu berdasarkan keanggotaan yang akan diatur dalam UU Perkumpulan dan tidak berdasarkan keanggotaan melalui UU Yayasan,” ujar salah seorang anggota KKB, Ronald Rofiandri, di Jakarta, Senin (18/2).
Menurut Direktur Advokasi dan Monitoring Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) ini, ada beberapa alasan mengapa KKB menuntut pembahasan dihentikan. Diantaranya, pemerintah dan DPR dinilai telah melakukan pemborosan anggaran untuk menghasilkan sebuah kebijakan yang jelas-jelas akan menghambat kemerdekaan berserikat dan berorganisasi masyarakat.
Pemerintah dan DPR menurutnya juga telah mengacaukan sistem hukum dan mengganggu independensi sistem peradilan Indonesia, dalam menentukan keabsahan suatu perikatan termasuk di dalamnya badan hukum.
“Dalam pembahasan RUU dimaksud, pemerintah dan DPR juga mengabaikan sejarah ormas-ormas yang telah berkontribusi pada pembentukan dan kemerdekaan Indonesia dan melakukan tindakan yang menurunkan citra dan kredibilitas Indonesia di mata dunia internasional sebagai negara demokratis,” ujarnya.
Fakta lain, RUU Perkumpulan sendiri menurut Ronald, sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014. “Jadi kalau diteruskan tentu akan campur aduk. Kita menilai RUU Perkumpulan secara hukum lebih punya dasar, namun telah tergeser dengan RUU Ormas yang salah arah,” katanya.
Panitia Khusus RUU Ormas DPR diketahui telah terbentuk sejak 3 Oktober 2011 lalu. Namun mengingat kompleksnya permasalahan yang ada, hingga saat ini DPR belum juga mensahkannya menjadi undang-undang.
Permasalahan menurut Ronald, diantaranya terlihat dari Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang disampaikan pemerintah kepada DPR, dimana definisi Ormas cenderung menyamaratakan jenis dan kriteria. Mulai dari organisasi profesi, komunitas hobi dan minat (fans club, kelompok arisan, suporter sepak bola, dan lain-lain, red), yayasan, perkumpulan, hingga yang berbasis massa.
Namun setelah mendengar masukan dari berbagai pihak, rapat paripurna DPR di Februari 2013 menurut Ronald, kemungkinan mengagendakan pengesahan RUU Ormas guna menggantikan Undang Undang Nomor 8 Tahun 1985. (gir/jpnn)
Mereka menilai, RUU Ormas melanggar prinsip-prinsip hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia.
“KKB juga menuntut pencabutan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985, tentang Organisasi Kemasyarakatan dan mengembalikan pengaturan Ormas kepada kerangka hukum yang benar dan relevan. Yaitu berdasarkan keanggotaan yang akan diatur dalam UU Perkumpulan dan tidak berdasarkan keanggotaan melalui UU Yayasan,” ujar salah seorang anggota KKB, Ronald Rofiandri, di Jakarta, Senin (18/2).
Menurut Direktur Advokasi dan Monitoring Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) ini, ada beberapa alasan mengapa KKB menuntut pembahasan dihentikan. Diantaranya, pemerintah dan DPR dinilai telah melakukan pemborosan anggaran untuk menghasilkan sebuah kebijakan yang jelas-jelas akan menghambat kemerdekaan berserikat dan berorganisasi masyarakat.
Pemerintah dan DPR menurutnya juga telah mengacaukan sistem hukum dan mengganggu independensi sistem peradilan Indonesia, dalam menentukan keabsahan suatu perikatan termasuk di dalamnya badan hukum.
“Dalam pembahasan RUU dimaksud, pemerintah dan DPR juga mengabaikan sejarah ormas-ormas yang telah berkontribusi pada pembentukan dan kemerdekaan Indonesia dan melakukan tindakan yang menurunkan citra dan kredibilitas Indonesia di mata dunia internasional sebagai negara demokratis,” ujarnya.
Fakta lain, RUU Perkumpulan sendiri menurut Ronald, sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014. “Jadi kalau diteruskan tentu akan campur aduk. Kita menilai RUU Perkumpulan secara hukum lebih punya dasar, namun telah tergeser dengan RUU Ormas yang salah arah,” katanya.
Panitia Khusus RUU Ormas DPR diketahui telah terbentuk sejak 3 Oktober 2011 lalu. Namun mengingat kompleksnya permasalahan yang ada, hingga saat ini DPR belum juga mensahkannya menjadi undang-undang.
Permasalahan menurut Ronald, diantaranya terlihat dari Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang disampaikan pemerintah kepada DPR, dimana definisi Ormas cenderung menyamaratakan jenis dan kriteria. Mulai dari organisasi profesi, komunitas hobi dan minat (fans club, kelompok arisan, suporter sepak bola, dan lain-lain, red), yayasan, perkumpulan, hingga yang berbasis massa.
Namun setelah mendengar masukan dari berbagai pihak, rapat paripurna DPR di Februari 2013 menurut Ronald, kemungkinan mengagendakan pengesahan RUU Ormas guna menggantikan Undang Undang Nomor 8 Tahun 1985. (gir/jpnn)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !