Ali
Masykur Musa
Jakarta, Ketua
Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Ali
Masykur Musa mendukung tokoh NU menjadi capres dalam pilpres 2014
mendatang, dalam rangka mengawal pluralismne bangsa, Bhinneka Tunggal
Ika, Pancasila, UUD NRI 1945, dan NKRI.
Hal itu penting di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara yang makin memunculkan komunalisme, eksklusifisme, terorisme dan simbol-simbol lain yang mengatasnamakan agama. Ini menunjukkan bahwa kondisi bangsa ini masih jauh dari cita-cita nasional sebagaimana didambakan pendiri bangsa ini atau founding fathers.
“ISNU memang tak berurusan dengan Capres, namun kalau ditanya tokoh NU tentu banyak yang mampu memimpin negara ini. ISNU juga tak berurusan dengan Capres tua-muda, yang penting mampu memenej, mengelola dan memajukan Indonesia yang besar ini. Tapi, ISNU tak bisa menyebut nama-nama siapa yang layak menjadi Capres? ISNU hanya akan merumuskan kriteria-kriteria kepemimpinan nasional,” tandas Ali Masykur pada wartawan di Jakarta, Rabu (27/2). Ali Masykur didampingi Sekjen M Kholid Syairozi dan pengurus ISNU yang lain.
Perumusan kepemimpinan nasional tersebut akan dikaji ISNU dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) yang berlangsung pada 28 Februari – 1 Maret 2013 di Semarang, Jawa Tengah. Rapimnas itu akan dibuka oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, dan akan hadir memberikan sumbangan pemikiran antara lain Wakil Ketua Umum PBNU H Said As’ad Ali, Ketua MK Mahfudh MD, Mendikbud M. Nuh, Ketua DPR RI Marzuki Ali, dan lain-lain.
Setidaknya kata Ali Masykur, di tengah kehidupan politik yang carut-marut, transaksional, dan berbiaya tinggi, pertumbuhan ekonomian juga tidak diikuti peningkatan kesejahteraan rakyat, malah kemiskinan terus bertambah.
“Pendapatan per kapita atau PDB memang naik menjadi rata-rata 3.000 dollar AS per tahun, tapi kenaikan ini disumbang oleh 20 persen pemilik modal yang menguasai 48 % kekayaan nasional, sedangkan lapisan bawah hanya menguasai 16 % kekayaan nasional. Artinya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh kelompok lapisan menengah ke atas,” ujarnya.
Ditambah lagi hukum yang masih bermasalah, baik di tingkat struktur, substansi, maupun kultur, sehingga negara ini belum mempunyai institusi penegak hukum yang berwibawa. Dengan banyaknya kasus mafia peradilan dan korupsi yang melibatkan oknum kepolisian, kejaksaan, hakim, dan pengacara, maka presiden atau pemimpin nasional mendatang harus mempu menangani semua pekerjaan rumah tersebut.
“Karenanya, ISNU tergerak untuk mengambil peran dengan bidang dan kompetensinya dalam proses berbangsa dan bernegara melalui Rapimnas ini,” tambah Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI ini meyakinkan.
Menurut Ali Masykur, reformasi memang menghasilkan kemajuan demokratisasi politik dengan menjamurnya parpol, penyelenggara pemilu, dan pemilukada secara langsung, penguatan kewenangan parlemen dan demokratisasi lokal melalui otonomi daerah. Namun, pelembagaan demokrasi di Indonesia itu telah didekte kekuatan modal dan uang, di mana partai menjadi instrumen perburuan untuk mengeruk sumber-sumber keuangan negara.
“DPR menjadi ajang transaksi kebijakan melalui proses legislasi yang mengangkangi jiwa konstitusi, dan pemilu menjadi transakional, maka pemimpin mendatang harus mampu menangani carut-marutnya republik ini,” pungkas Ali Masykur.
Redaktur: Mukafi Niam
Penulis : Munif Arpas
Hal itu penting di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara yang makin memunculkan komunalisme, eksklusifisme, terorisme dan simbol-simbol lain yang mengatasnamakan agama. Ini menunjukkan bahwa kondisi bangsa ini masih jauh dari cita-cita nasional sebagaimana didambakan pendiri bangsa ini atau founding fathers.
“ISNU memang tak berurusan dengan Capres, namun kalau ditanya tokoh NU tentu banyak yang mampu memimpin negara ini. ISNU juga tak berurusan dengan Capres tua-muda, yang penting mampu memenej, mengelola dan memajukan Indonesia yang besar ini. Tapi, ISNU tak bisa menyebut nama-nama siapa yang layak menjadi Capres? ISNU hanya akan merumuskan kriteria-kriteria kepemimpinan nasional,” tandas Ali Masykur pada wartawan di Jakarta, Rabu (27/2). Ali Masykur didampingi Sekjen M Kholid Syairozi dan pengurus ISNU yang lain.
Perumusan kepemimpinan nasional tersebut akan dikaji ISNU dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) yang berlangsung pada 28 Februari – 1 Maret 2013 di Semarang, Jawa Tengah. Rapimnas itu akan dibuka oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, dan akan hadir memberikan sumbangan pemikiran antara lain Wakil Ketua Umum PBNU H Said As’ad Ali, Ketua MK Mahfudh MD, Mendikbud M. Nuh, Ketua DPR RI Marzuki Ali, dan lain-lain.
Setidaknya kata Ali Masykur, di tengah kehidupan politik yang carut-marut, transaksional, dan berbiaya tinggi, pertumbuhan ekonomian juga tidak diikuti peningkatan kesejahteraan rakyat, malah kemiskinan terus bertambah.
“Pendapatan per kapita atau PDB memang naik menjadi rata-rata 3.000 dollar AS per tahun, tapi kenaikan ini disumbang oleh 20 persen pemilik modal yang menguasai 48 % kekayaan nasional, sedangkan lapisan bawah hanya menguasai 16 % kekayaan nasional. Artinya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh kelompok lapisan menengah ke atas,” ujarnya.
Ditambah lagi hukum yang masih bermasalah, baik di tingkat struktur, substansi, maupun kultur, sehingga negara ini belum mempunyai institusi penegak hukum yang berwibawa. Dengan banyaknya kasus mafia peradilan dan korupsi yang melibatkan oknum kepolisian, kejaksaan, hakim, dan pengacara, maka presiden atau pemimpin nasional mendatang harus mempu menangani semua pekerjaan rumah tersebut.
“Karenanya, ISNU tergerak untuk mengambil peran dengan bidang dan kompetensinya dalam proses berbangsa dan bernegara melalui Rapimnas ini,” tambah Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI ini meyakinkan.
Menurut Ali Masykur, reformasi memang menghasilkan kemajuan demokratisasi politik dengan menjamurnya parpol, penyelenggara pemilu, dan pemilukada secara langsung, penguatan kewenangan parlemen dan demokratisasi lokal melalui otonomi daerah. Namun, pelembagaan demokrasi di Indonesia itu telah didekte kekuatan modal dan uang, di mana partai menjadi instrumen perburuan untuk mengeruk sumber-sumber keuangan negara.
“DPR menjadi ajang transaksi kebijakan melalui proses legislasi yang mengangkangi jiwa konstitusi, dan pemilu menjadi transakional, maka pemimpin mendatang harus mampu menangani carut-marutnya republik ini,” pungkas Ali Masykur.
Redaktur: Mukafi Niam
Penulis : Munif Arpas
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !