Jakarta (ANTARA) - Terdakwa kasus suap terhadap
sejumlah anggota Komisi IX DPR periode
1999-2004 terkait pemilihan
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda Swaray Goeltom divonis
bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan hukuman penjara tiga
tahun dan denda Rp100 juta. "Terdakwa Miranda Swaray Goeltom bersalah dan terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan pertama pasal 5 ayat 1 huruf b juncto pasal 55 ayat (1) KUHP dan menjatuhkan pidana penjara selama tiga tahun dan denda Rp100 juta," kata ketua majelis hakim Gusrizal pada sidang di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
Hakim menyatakan bahwa terdapat fakta pengadilan bahwa sebelum pemilihan DGSBI, Miranda terbuti bertemu dengan fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dari Komisi IX di hotel Dharmawangsa dan Fraksi TNI/Polri di kantor Miranda di jalan Sudirman Jakarta.
Kemudian saksi Dhudie Makmun Murod, Endin Aj Soefihara, Udju Djuhaeri, Darsup Yusuf, Suyitno serta Hamka Yandhu juga terbukti menerima "traveller cheque" (TC) Bank Internasional Indonesia masing-masing nilainya Rp50 juta.
"Setelah ada pemberian TC tersebut maka pada malam harinya setelah dilakukan voting maka terdakwa terpilih sebagai DGSBI 2004-2009," kata hakim anggota Anwar.
Artinya menurut hakim, dengan diterimanya TC oleh Komisi IX yang telah diputus dan punya kekuatan hukum tersebut, unsur memberikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menjadikan penyelenggara negara tersebut melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya telah terbukti
Unsur turut serta Miranda yang didakwakan dalam juncto pasal 55 ayat (1) KUHPjuga dianggap terbukti karena sebelum "fit and proper test saksi Arie Malangjudo atas perintah saksi Nunun Nurbaeti memberikan kantong berisi TC kepada perwakilan fraksi PDIP, PPP, Golkar dan TNI/Polri.
Meski Nunun membantah telah memerintahkan Arie melakukan hal itu, saksi Ngatiran mengatakan ambil kantong kertas dari ruang Nunun untuk dibawa kepada Arie.
Majelis tidak sependapat dengan dengan kuasa hukum yang mengatakan bahwa Miranda tidak tahu sama sekali pemberitan TC, dan pemberitan TC kepada perwakilan fraksi di Komisi IX oleh Arie adalah atas perintah Nunun.
Banding
Atas vonis tersebut, Miranda mengatakan akan langsung mengajukan banding.
"Saya kaget, saya tidak menyangka. Saya tidak berbuat apa-apa, Tuhan tahu saya tidak berbuat apa-apa karena itu saya akan naik banding," kata Miranda dalam sidang.
Sedangkan JPU yang dipimpin oleh jaksa Supardi mengatakan pikiri-pikir.
Miranda oleh JPU didakwa melanggar pasal 5 huruf (1) huruf b Undang-undag No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo UU No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) KUHP.
Ia didakwa memberikan 480 TC senilai Rp24 miliar kepada sejumlah anggota Komisi IX DPR yang diberikan oleh pegawai Nunun Nurbaeti, Arie Malangjudo kepada perwakilan fraksi-fraksi yaitu Udju Djuhaerie (Fraksi TNI/Polri), Endin Aj Soefihara (fraksi PPP), Hamka Yandhu (fraksi Golkar), dan Dhudie Makmun Murod (fraksi PDI-Perjuangan) pada Juni 2004.
Cek pelawat dengan nilai per lembar Rp50 juta tersebut dibagikan oleh Nunun Nurbaeti melalui anak buahnya Arie Malangjudo kepada fraksi TNI/Polri melalui anggota DPR Udju Djuhaerie sebesar Rp2 miliar, fraksi PPP melalui sebesar Rp1,25 miliar, fraksi Partai Golkar melalui Hamka Yandhu sebesar Rp7,8 miliar dan fraksi PDI-P melalui Dhudie Makmun Murod sebesar Rp9,8 miliar.
Pemberian tersebut diberikan berdasarkan pertemuan di rumah Nunun yang mempertemukan Miranda dengan Endin, Hamka dan Paskah Suzetta dengan maksud agar fraksi Golkar mendukung Miranda dalam "fit and proper test" calon DGSBI, saat itu Nunun mendengar ada yang mengucapkan kepada Miranda bahwa hal tersebut "bukan proyek thank you", maksudnya untuk memberi imbalan kepada anggota DPR yang meilih Miranda.
Nunun sendiri sudah diputus bersalah dengan vonis penjara 2,5 tahun dan anggota Komisi IX saat itu juga telah dihukum penjara dengan antara 1-2,5 tahun.
Cek perjalanan Bank Internasional Indonesia (BII) tersebut diketahui dikeluarkan untuk Bank Artha Graha (BAG) atas permintaan PT First Mujur Plantation and Industry (FMPI) untuk pembelian kebun sawit seluas 5.000 hektare dari seorang pengusaha bernama Ferry Yen atau Suhardi Suparman.
Ferry mendapat cek senilai Rp24 miliar tersebut sebagai pembayaran pembelian lahan sawit dari Direktur Utama PT FMPI Hidayat Lukman alias Tedy Uban tapi pada Februari 2004 Ferry membatalkan transaksi pembelian tersebut dan akan membayar uang yang sudah dibayarkan secara mencicil.
Sayangnya sebelum kasus ini terkuak pada 2008, Ferry telah meninggal pada 2007 sehingga sumber dana cek pelawat itu pun tidak diketahui karena Nunun juga membantah bahwa ia memerintahkan Arie untuk memberikan cek terseut kepada para anggota DPR.
Hidayat Lukman yang sedang sakit dan dirawat di Rumah Sakit Mount Elizabeth Singapura dalam pernyataan tertulis yang sudah disumpah pada sidang itu mengungkapkan bahwa ia tidak mengenai Miranda, tidak mengetahui hubungan Ferry dengan Nunun atau Miranda. (tp)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !